Jumat, 18 April 2025

Kilas Balik Sejarah: Ternate, Bukan Portugal, Pemilik Timor Timur


Sebuah perspektif sejarah yang mungkin mengejutkan mengemuka terkait klaim Indonesia atas Timor Timur. Drs. Moedaffar Sjah BcHk, Sultan Ternate ke-48 yang berkedudukan di Maluku Utara, dengan otoritasnya menyampaikan argumentasi berdasarkan fakta sejarah, bukan sekadar klaim politik semata. Ia menilai bahwa klaim Indonesia atas Timor Timur akan lebih kuat jika didasarkan pada "historisch recht" atau hak historis, yang merujuk pada penguasaan wilayah Timor Timur di masa lampau oleh Kesultanan Ternate.

Menurut catatan sejarah Kesultanan Ternate yang didirikan oleh Jou Kolano Kaicil Mashur Cico Malamo pada abad ke-13, wilayah kekuasaan kesultanan ini sangat luas, jauh melampaui kepulauan sekitar Maluku. Di utara, kekuasaannya membentang hingga Sulu, Zamboanga, Sabah, bahkan Mindanao di Filipina. Sementara di selatan dan barat, pengaruh Ternate mencapai wilayah Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sultan Moedaffar Sjah menegaskan bahwa wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate di masa lalu juga mencakup wilayah Timor Timur saat ini. Hal ini ditandai dengan adanya wali kuasa atau perwakilan Kesultanan Ternate yang ditempatkan di daerah tersebut untuk mengawasi dan mengelola wilayah itu sebagai bagian dari kekuasaan Ternate. Keberadaan wali kuasa ini menjadi bukti konkret akan klaim historis Ternate atas Timor Timur.

Sejarah mencatat bahwa kekuasaan Portugis di Kepulauan Maluku berakhir pada tahun 1522, ditandai dengan hancurnya Benteng Castella setelah pengepungan yang sengit. Kekalahan ini menyebabkan pasukan Portugis terusir dari wilayah Maluku. Sebagai pihak yang kalah perang, Portugal kemudian secara sepihak menduduki Timor Timur, yang pada saat itu berstatus "wilde occupantie" atau wilayah tak bertuan, bukan sebagai koloni yang sah.


Sultan Moedaffar Sjah berpendapat bahwa pendudukan Timor Timur oleh Portugal setelah kekalahan mereka di Maluku tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Sebagai pecundang perang, Portugal tidak memiliki hak untuk mengklaim wilayah baru sebagai koloninya, terutama wilayah yang secara historis berada di bawah pengaruh kekuasaan lain, dalam hal ini Kesultanan Ternate.

Ironisnya, pada saat yang sama, Kesultanan Ternate di bawah kepemimpinan Sultan Bapullah justru mengabaikan Timor Timur dan wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain. Perhatian Ternate teralihkan oleh kedatangan kekuatan baru, yaitu pasukan Belanda yang mulai melakukan invasi ke wilayah Ternate pada tahun 1609. Fokus Ternate pada ancaman Belanda ini menyebabkan kurangnya perhatian terhadap wilayah-wilayah kekuasaannya yang lebih jauh, termasuk Timor Timur.

Sultan Moedaffar Sjah meyakini bahwa mengajukan klaim atas Timor Timur berdasarkan alasan politik akan menimbulkan kerancuan. Namun, jika ditinjau dari sudut pandang "historisch recht," situasinya menjadi jauh lebih jelas. Portugal, sebagai pihak yang kalah dalam perang di Maluku, tidak memiliki legitimasi hukum untuk mengklaim Timor Timur sebagai wilayah koloninya. Klaim historis Kesultanan Ternate atas wilayah tersebut jauh lebih kuat dan berdasar pada fakta penguasaan di masa lampau.

Argumentasi mengenai "historisch recht" atas Timor Timur ini pernah disampaikan Sultan Ternate Moedaffar Sjah kepada Pemerintah Indonesia. Bahkan, pada tahun 1994, dilakukan wawancara khusus dengan Sultan Ternate yang direkam secara audio-visual dan kabarnya rekaman tersebut telah disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sultan Ternate menyampaikan pandangannya ini kepada Kompas sesaat sebelum kesepakatan pembentukan Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada pertemuan tersebut, para pemangku adat, sultan, atau ahli waris dari 14 keraton peserta Festival Keraton Nusantara I berkumpul untuk membahas berbagai isu terkait pelestarian adat dan sejarah kerajaan di Indonesia.

Dalam memimpin pertemuan tersebut, Sultan Moedaffar Sjah menunjukkan wawasan yang luas dan kapasitas kepemimpinan yang menonjol di antara para pemangku adat lainnya. Beliau meminta agar para raja dan pemangku adat mengesampingkan perasaan "sakit hati" akibat peran mereka yang dianggap tersisih dan hak-hak yang berkurang sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan menerima hal tersebut sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa.

Di sisi lain, Sultan Moedaffar Sjah mengingatkan kembali tentang peran penting para sultan dan raja di masa lampau dalam perjuangan melawan penjajahan. Beliau menegaskan bahwa para sultan terdahulu adalah pejuang yang memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda. Pernyataan ini secara implisit menolak anggapan bahwa kerajaan-kerajaan di Nusantara dapat diidentikkan dengan feodalisme dalam artian pelapisan sosial yang menyertai sistem kerajaan.

Menurut Sultan Moedaffar Sjah, sistem feodal tidak pernah berlaku di Kesultanan Ternate. Konotasi negatif feodalisme di masyarakat luas seringkali mengaburkan peran positif para sultan dan raja dalam perjuangan mempersatukan Indonesia. Beliau berpendapat bahwa para pemimpin kerajaan di masa lalu memiliki kontribusi besar dalam membangun fondasi persatuan bangsa.

Penampilan Sultan Moedaffar Sjah tidak mencerminkan sosok bangsawan yang arogan. Pria dengan cambang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia ini justru menunjukkan sikap seorang demokrat. Beliau pernah tinggal lama di Jakarta dan menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selama dua periode, dari tahun 1977 hingga 1987.

Sebagai putra nomor tiga dari Sultan Iskandar Mohammad Djabir Sjah, Moedaffar Sjah ditunjuk menduduki jabatan sebagai Sultan Ternate ke-48 pada tahun 1986. Sebelumnya, Istana Limau Gapi di Ternate mengalami kekosongan kepemimpinan sultan selama 20 tahun. Struktur pemerintahan kesultanan Ternate pun menyerupai pemerintahan modern, dengan adanya jabatan Perdana Menteri, Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan sebagainya yang dijabat oleh orang-orang awam. "Sultan hanya memiliki hak veto," ungkap beliau.

Wilayah Kesultanan Ternate yang dikelilingi oleh lautan yang luas dan indah memberikan inspirasi sekaligus nilai lebih bagi Sultan Moedaffar Sjah. Dalam suatu seminar di Universitas Pattimura Ambon yang melibatkan pakar hukum kelautan internasional Prof. Mochtar Kusuma Atmadja, Sultan Moedaffar menegaskan bahwa hukum kelautan internasional seharusnya mengacu pada hukum adat setempat yang telah ada jauh sebelumnya.

Menurut hukum kelautan adat, batas wilayah perairan suatu negara atau pulau tidaklah 200 mil lepas pantai seperti yang disepakati dalam Hukum Laut Internasional. Hukum adat yang telah berusia ratusan tahun di daerah Maluku menentukan bahwa batas wilayah perairan ditandai dengan kedalaman laut dangkal serta laut dalam (sampai batas kedalaman tertentu). Batas itu juga ditandai oleh pulau terdekat yang masih dapat dijangkau oleh pandangan mata.

Mengacu pada hukum adat laut tersebut, Sultan Moedaffar Sjah berpendapat bahwa perjanjian eksplorasi minyak di Selat Timor antara Indonesia dan Australia tidaklah tepat. Menurut beliau, perjanjian tersebut mengabaikan hak-hak tradisional masyarakat adat atas wilayah perairan mereka berdasarkan hukum adat yang berlaku.

Istana Limau Gapi Kesultanan Ternate seluas 2 hektar dengan arsitektur gaya Inggris hingga kini masih berdiri megah dan terawat dengan baik. Begitu pula dengan segala perlengkapan adatnya yang masih lengkap. Sultan Moedaffar Sjah tinggal di sana bersama dua istri dan sebagian dari sepuluh putranya yang semuanya telah dewasa.

Di istana tersebut, Presiden Soekarno pernah menginap hingga dua kali, yaitu pada tahun 1952 dan 1954. "Katanya, mau mencari wangsit," tutur sultan sambil tersenyum. Saat dua kali tidur di ruang tidur sultan, Bung Karno keesokan harinya kedapatan tertidur di lantai. "Entah kenapa sampai terjadi demikian. Tapi ajudannya sempat didamprat, dan baru di kemudian hari diceritakannya kepada saya."

Presiden Soeharto pun pernah berkunjung ke istana tersebut. Berkat kunjungannya itu, masjid kesultanan yang berada di lingkungan istana memperoleh bantuan untuk direnovasi. Lebih dari sekadar bangunan istana, eksistensi Kesultanan Ternate hingga hari ini mendapatkan dukungan nyata dari rakyat Ternate yang masih terikat oleh adat lama. Sistem sosial "bate" mengekalkan hubungan antara sultan (istana) dengan rakyat di kampung-kampung, menunjukkan bahwa klaim historis dan kultural Ternate atas wilayahnya, termasuk potensi klaim atas Timor Timur berdasarkan "historisch recht," masih hidup dalam ingatan dan tradisi masyarakat.

marbun

Author & Editor

Please don't hesitate to contact us via email: redaksi.dekho@gmail.com, we are looking forward to wait for your suggestion for improving of our business..

0 komentar:

Posting Komentar