Sultan Group - To Serve and To Love

Your partners to serve your costumers..

  • Sultan Wisata

    Sultan Wisata is part of Sultan Group that operates in several areas of business interests. We look forward to serving you for your business and/or leisure travel needs..

  • Sultan Electronics and IT

    Sultan Electronics and IT is committed to serve your need in electronic appliances and ever changing IT application. Contact us for more informations..

  • Sultan Gold and Gems

    Sultan Gold and Gems specializes in all things related to sales and service in fine jewelry. Our cornerstone specialty is premium diamonds and Wedding Rings..

  • What's Trending?

    Smart & Creative Design

    One of the many differences you will find with Sultan Gold and Gems is that we make all of these dreamy luxuries affordable for you. We are proud to remain our region's largest and most trusted jeweler..

    From our Blog

    Sabtu, 10 Mei 2025

    Jejak Raja Tubba dari Yaman ke Nusantara

    Dalam catatan sejarah kuno Arab, nama Raja Tubba’ tercatat sebagai salah satu penguasa besar dari Yaman yang disebut-sebut pernah melakukan perjalanan hingga ke Timur Jauh. Wilayah yang dimaksud dalam catatan itu diduga kuat adalah kawasan Nusantara, yang kala itu dikenal dengan nama Zabag (Sabak di Jambi/Sayabiga)

    Zabag sendiri dalam berbagai manuskrip Arab kuno merujuk pada sebuah kerajaan maritim yang sangat makmur di Asia Tenggara. Para sejarawan modern mengaitkan nama Zabag dengan kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Sumatera, karena sesuai dengan deskripsi negeri kaya penghasil emas dan rempah-rempah itu.

    Informasi mengenai kunjungan Raja Tubba’ ke kawasan timur banyak ditemukan dalam literatur Arab klasik. Salah satu sumber tertua yang menyebut nama Zabag adalah karya Abu Zayd al-Sirafi berjudul Akhbar al-Sin wa al-Hind, meski dalam teks itu tidak secara langsung menyebut nama Tubba’.

    Kisah tentang Raja Tubba’ sendiri lebih jelas ditemukan dalam karya Al-Masudi, sejarawan Muslim dari abad ke-10 M. Dalam bukunya Muruj adh-Dhahab wa Ma'adin al-Jawhar, Al-Masudi menulis bahwa Tubba’ pernah menguasai banyak wilayah di India, Sind, Zanj, dan Kepulauan di Lautan Cina.

    Sejarawan meyakini istilah "Kepulauan di Lautan Cina" dalam teks tersebut adalah istilah Arab kuno untuk menyebut kepulauan Asia Tenggara, termasuk Nusantara. Oleh sebab itu, banyak yang beranggapan Tubba’ kemungkinan besar pernah menjangkau Zabag.

    Sayangnya, Al-Masudi tidak menyebutkan secara pasti tahun kapan peristiwa itu terjadi. Namun bila merujuk pada periode kekuasaan raja-raja Tubba’ di Yaman, peristiwa itu kemungkinan berlangsung antara abad ke-3 hingga ke-5 Masehi.

    Tubba’ adalah gelar yang disandang oleh para raja Himyar di Yaman sebelum masuknya Islam. Para sejarawan Arab menempatkan sosok ini sebagai penguasa yang bukan hanya berkuasa di Semenanjung Arab, melainkan juga dikenal sebagai penakluk wilayah timur.

    Dalam Muruj adh-Dhahab, Al-Masudi menulis bahwa raja Tubba’ membawa pasukan besar dan kapal-kapal dagang ke negeri-negeri timur jauh. Ia juga menyebutkan kekayaan luar biasa negeri-negeri di seberang lautan tersebut, termasuk emas, rempah, dan gading.

    Walaupun kisah ini terkesan seperti legenda, namun keberadaan nama Zabag dalam literatur Arab diakui oleh banyak sejarawan sebagai fakta historis. Zabag disebut sebagai negeri yang memiliki kapal-kapal terbesar dan pelabuhan yang ramai.

    Selain Al-Masudi, penulis lain seperti Ibn al-Faqih dalam kitab al-Buldan juga menyinggung tentang Zabag sebagai kerajaan kaya di kepulauan timur yang kapalnya mampu mengangkut ratusan orang. Keterangan ini sangat sesuai dengan catatan sejarah tentang Sriwijaya.

    Di Nusantara sendiri, nama Tubba’ memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam naskah-naskah lokal. Namun beberapa hikayat seperti Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu kerap memuat kisah tentang kunjungan bangsawan Arab ke negeri-negeri Melayu.

    Sebagian peneliti berpendapat, kisah tentang raja dari Yaman yang datang ke tanah Melayu bisa jadi merupakan versi lokal dari cerita ekspedisi Tubba’. Apalagi, dalam beberapa versi hikayat disebutkan bahwa bangsa Arab telah datang sebelum penyebaran Islam.

    Penting untuk dicatat bahwa dalam budaya Melayu kuno, kisah-kisah asal-usul raja sering dihubungkan dengan keturunan asing yang mulia. Kehadiran figur raja Yaman menjadi salah satu legitimasi keturunan bangsawan di Sumatera dan Semenanjung Melayu.

    Sementara itu, tradisi lisan masyarakat di beberapa daerah seperti Minangkabau dan Aceh menyimpan cerita tentang orang-orang Arab yang berlayar ke Nusantara sejak masa lampau. Meskipun kisah ini sulit dibuktikan secara arkeologis, keberadaannya terus hidup dalam ingatan kolektif.

    Kaitan antara Tubba’ dan Nusantara juga menarik karena memperlihatkan betapa luasnya hubungan maritim di masa lampau. Nusantara ternyata telah dikenal dunia Arab sebelum abad ke-7 M, jauh sebelum masuknya agama Islam ke kawasan ini.

    Penelitian modern pun terus menggali keterkaitan antara kisah-kisah klasik Arab dengan sejarah maritim Asia Tenggara. Sebagian arkeolog dan sejarawan percaya bahwa pengaruh peradaban Arab kuno memang pernah menyentuh wilayah Nusantara.

    Meski belum ditemukan artefak langsung yang membuktikan kedatangan Tubba’ ke Nusantara, sumber-sumber tertulis Arab klasik tetap menjadi petunjuk penting tentang relasi antar peradaban. Catatan tersebut menjadi saksi betapa dinamisnya jalur pelayaran kuno di kawasan ini.

    Keberadaan Zabag sebagai negeri kaya raya di Asia Tenggara membuktikan bahwa Nusantara memiliki peran strategis dalam peta perdagangan dunia kuno. Catatan kunjungan raja-raja asing seperti Tubba’ menunjukkan bahwa kawasan ini memang telah lama menjadi rebutan.

    Dengan demikian, kisah tentang ekspedisi Raja Tubba’ ke Zabag tidak bisa dianggap semata-mata legenda. Meski detailnya belum terungkap sepenuhnya, keberadaan kisah tersebut menjadi bagian penting dari sejarah maritim Nusantara yang masih terus digali.


    Rabu, 23 April 2025

    Bupati Madina Rangkul Tokoh Nasional Demi Pembangunan Daerah

    Bupati Mandailing Natal (Madina), Saipullah Nasution, menyampaikan seruan penting kepada para tokoh nasional asal Bumi Gordang Sambilan yang berada di Jakarta. Dalam acara halalbihalal yang dihadiri berbagai elemen masyarakat, Saipullah menekankan bahwa pembangunan daerah membutuhkan dukunganSolid dari seluruh pihak, termasuk para putra-putri terbaik Madina yang berkiprah di ibu kota.

    Orang nomor satu di Madina ini, yang juga menjabat sebagai ketua Ikatan Keluarga Alumni Nasution (IKANAS), menyatakan bahwa pemerintahannya bersama Wakil Bupati Atika Azmi Utammi Nasution sangat terbuka terhadap masukan, saran, dan bahkan kritik membangun demi kemajuan Kabupaten Madina. Keterbukaan ini dipandang sebagai langkah penting untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi daerah.

    Lebih lanjut, Bupati Saipullah mengungkapkan sejumlah persoalan krusial yang menjadi fokus perhatian pemerintahannya. Dua di antaranya adalah peredaran gelap narkoba yang mengancam masa depan generasi muda Madina, serta aktivitas tambang ilegal yang merusak lingkungan dan berpotensi menimbulkan masalah sosial.

    Dalam kesempatan tersebut, Bupati Saipullah secara khusus mengajak para tokoh IKANAS dan Himpunan Mahasiswa Lubis (HIMA Lubis) untuk memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan kampung halaman. Dukungan dari para tokoh yang memiliki pengaruh dan jaringan luas di tingkat nasional diharapkan dapat mempercepat kemajuan Madina di berbagai sektor.

    Selain mengharapkan dukungan konkret, Bupati Saipullah juga mengajak seluruh peserta halalbihalal untuk mengesampingkan perbedaan pandangan politik yang mungkin muncul selama perhelatan Pilkada sebelumnya. Ia menegaskan bahwa pesta demokrasi telah usai, dan kini saatnya seluruh elemen masyarakat bersatu padu demi kemajuan Madina.

    Momentum bulan Syawal juga dimanfaatkan Bupati Saipullah untuk menyampaikan ucapan Selamat Hari Raya Idulfitri 1446 Hijriah, serta memohon maaf lahir dan batin kepada seluruh hadirin. Hal ini semakin mempererat tali silaturahmi dan kebersamaan di antara para perantau dan masyarakat Madina.

    Sebelumnya, Ketua Panitia acara, Dr. Fadli Nasution, SH, MH, dalam sambutannya mengajak seluruh keluarga besar marga Nasution dan Lubis beserta anak perempuan mereka (anak boru) di wilayah Jabodetabek untuk melestarikan dan mengajarkan adat istiadat serta tradisi Mandailing kepada generasi muda. Ajakan ini bertujuan untuk menjaga kekayaan budaya daerah di tengah arus modernisasi.

    Senada dengan itu, Fadli Nasution juga menyerukan kepada seluruh perantau asal Madina untuk memberikan kontribusi aktif dalam pembangunan kampung halaman. Kontribusi ini dapat berupa ide, gagasan, maupun dukungan материал yang dapat mempercepat kemajuan daerah.

    Dewan Pembina HIMA Lubis, Muktar Lubis, menegaskan bahwa organisasi yang menaungi para mahasiswa dan pemuda bermarga Lubis tersebut memberikan dukungan penuh terhadap kepemimpinan Bupati Saipullah dan Wakil Bupati Atika. Ia meyakini bahwa dengan sinergi dan dukungan yang kuat, pembangunan di Madina akan berjalan dengan baik dan mencapai hasil yang optimal.

    Muktar Lubis juga menyampaikan bahwa acara halalbihalal ini merupakan wujud nyata dari kebersamaan dan ukhuwah islamiah yang terjalin erat antara marga Lubis dan Nasution. Tradisi silaturahmi ini menjadi momentum penting untuk memperkuatSolid persaudaraan dan kepedulian terhadap kampung halaman.

    Ketua Dewan Hatobangon HIMA Lubis, Azhar Lubis, menambahkan bahwa melalui kegiatan halalbihalal, para perantau memiliki kesempatan untuk mengetahui perkembangan terkini di Kabupaten Madina. Informasi ini diharapkan dapat memotivasi para perantau untuk turut berkontribusi dalam pembangunan daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing.

    Ketua Dewan Hatobangon DPP IKANAS, Mulia P. Nasution, melihat ajang silaturahmi ini sebagai wadah yang efektif untuk menyampaikan masukan dan aspirasi kepada pemerintah daerah. Berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi Madina memerlukan solusiSolid dan inovatif, dan kontribusi pemikiran dari para perantau sangat diharapkan.

    Bupati Saipullah Nasution, yang dilantik sebagai Bupati Madina pada 21 Maret 2025, tampak khidmat mengikuti prosesi upa-upa dan doa restu yang dipanjatkan agar beliau senantiasa diberikan kekuatan, kesehatan, serta amanah dalam memimpin kabupaten ini. Harapan besar disematkan di pundaknya untuk membawa perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik bagi seluruh masyarakat Madina.

    Acara halalbihalal yang mempertemukan dua marga besar di Mandailing ini berlangsung meriah dengan berbagai hiburan dan kegiatan. Tabuhan Gordang Sambilan yang khas, penampilan memukau dari Syamsir KDI, pembagian door prize yang menarik, serta tausiah yang disampaikan oleh Dr. Henry Tanjung semakin menambah semarak acara silaturahmi tersebut. Kehadiran berbagai tokoh masyarakat, perantau, dan pemerintah daerah menunjukkan solidnya kebersamaan dalam membangun Madina yang lebih maju. Lebih lanjut, dalam semangat memajukan warisan budaya dan pendidikan daerah, DPP IKANAS dan HIMA Lubis mengambil inisiatif penting dengan mempelopori pendirian Museum Mandailing.

    Kedua organisasi ini juga berkomitmen untuk melanjutkan perjuangan almarhum mantan Ketua IKANAS Sumatera Utara dalam mewujudkan pembangunan kampus Institut Teknologi Sumatera (ITS) Madina yang tertunda, serta mendirikan monumen untuk mengenang jasa Pahlawan Nasional Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.

    Dibuat oleh AI

    Sabtu, 19 April 2025

    Die Spuren des Einflusses von Aceh und des Osmanischen Reiches in Nord-Sumatra: Die Geschichte von Raja Asih, Raja Rum und Dili

    Eine alte, mündlich überlieferte Erzählung aus dem Land der Simalungun birgt die faszinierenden Spuren von Machteinfluss und Allianzen aus einer fernen Vergangenheit. Die Geschichte des Partingkian Bandar Hanopan (PBH) schildert nicht nur lokale Intrigen, sondern deutet auch die Interaktion und den Einfluss größerer Mächte an, nämlich Aceh unter der Führung von Raja Asih, und sogar eine mögliche Verbindung zu Raja Rum, der mit dem Osmanischen Reich assoziiert wird. Die Beziehungen zwischen diesen Mächten kreuzten sich dann mit denen lokaler Entitäten wie Dili (möglicherweise eine Anspielung auf das Sultanat von Deli in Nord-Sumatra).

    Die Erzählung beginnt mit der Geschichte von Pangultop-ultop und seiner Begegnung mit Puang Putori Ijou, die daraufhin vor einen lokalen Führer namens Puangta Hajuruan Sinombah gebracht wurde. Das Unvermögen dieses lokalen Führers, die Situation zu bewältigen, ebnete den Weg für eine Intervention von außen.

    Im Handlungsverlauf erscheint Raja Asih von Aceh als eine Figur mit bedeutendem Einfluss. Als er von Puang Putori Ijou in Dili Tua hörte, sandte er Gesandte und ergriff daraufhin Maßnahmen, um sie in sein Machtgebiet zu bringen. Diese Handlung deutet auf eine Reichweite der acehnesischen Macht oder zumindest auf politischen Einfluss in der Region Nord-Sumatra zu dieser Zeit hin.

    Noch faszinierender ist das Auftreten der Figur Raja Rum. Obwohl eine direkte Identifizierung mit dem osmanischen Sultan allein aufgrund der mündlichen Überlieferung schwer zu beweisen ist, wird die Erwähnung von „Rum“ im historischen Kontext oft mit dem Osmanischen Reich assoziiert, einer angesehenen islamischen Macht jener Zeit. Die Beteiligung von Raja Rum an Konflikten im Land der Simalungun durch die Entsendung von Kriegsherren und Ressourcen impliziert ein potenzielles Bündnis oder zumindest diplomatische Beziehungen zwischen lokalen Mächten und einer weiter entfernten Entität, die Aceh möglicherweise als Verbündeten ansah oder strategische Interessen in der Region hatte.

    Die Motive für die Beteiligung von Raja Rum werden nicht explizit dargelegt, aber die Entsendung von Gold und einem Kriegsherrn zur Überwindung der magischen Kräfte des Landes Dili deutet auf Interessen hin, die über einen lokalen Konflikt hinausgingen. Es ist möglich, dass Raja Rum potenzielles Risiko oder Chancen in der Region Nord-Sumatra sah und ein Bündnis mit Raja Asih ein Mittel war, seinen Einfluss zu projizieren.

    Unterdessen wurde Dili Tua, das im geografischen Kontext möglicherweise auf das Gebiet anspielt, das später das Sultanat von Deli werden sollte, zum Zentrum des Konflikts. Raja Dili heiratete Puang Putori Ijou, was daraufhin den Anlass für die Intervention von Raja Asih bildete. Die Niederlage von Raja Dili und der Fall von Dili Tua in die Hände der Allianz von Raja Asih und Raja Rum (oder zumindest unter deren Einfluss) markierten eine Verschiebung des Machtgleichgewichts in der Region.

    Die Verwendung von Waffen wie dem Bedil (einer Art Gewehr) in der Erzählung gibt auch Hinweise auf die Zeitperiode und deutet auf die Ära nach der Einführung westlicher Waffentechnologie hin, die dann von Mächten wie Aceh und möglicherweise über Handelswege mit den Osmanen übernommen wurde.

    Die Geschichte über die magischen Kräfte des Landes Dili, die mit Taktiken und Ressourcen von Raja Rum bekämpft wurden, ist ebenfalls interessant zu analysieren. Dies könnte eine symbolische Darstellung des Zusammenpralls lokaler Überzeugungen mit der Macht und Technologie von außen sein. Die erfolgreiche Überwindung dieser magischen Kräfte ebnete den Weg für die Dominanz der Allianz von Raja Asih und Raja Rum.

    Darüber hinaus zeigt die Erzählung über den Kampf um Einfluss und die Konflikte zwischen verschiedenen lokalen Mächten wie Silou Bolak, Silou Dunia und Pintu Banua die komplexe politische Landschaft Nord-Sumatras zu dieser Zeit, in der lokale Mächte mit Einflüssen von außen konfrontiert waren.

    Die Liebesgeschichte zwischen Raja Asih und Puang Putori Ijou, obwohl ein zentraler Bestandteil der Erzählung, kann auch als Symbol einer politischen Heirat oder der Stärkung eines Bündnisses zwischen Aceh und der lokalen Region gesehen werden. Die Bitte von Puang Putori Ijou, ihren Bruder Pangultop-ultop zu suchen, und die Schenkung von Reichtum an Pangultop-ultop nach seiner Auffindung deuten auf Versuche hin, lokale Elemente in die neue Machtstruktur zu integrieren.

    Die Ernennung von Pangultop-ultop zum Raja Silou (Sonnenkönig) unter dem Einfluss von Raja Asih bekräftigt die Dominanz von Aceh in der Region weiter. Die Schenkung der Ular Sinde (einer mythischen Schlange) als Symbol der Macht zeigt auch die Übernahme lokaler kultureller Elemente in das neu gebildete Machtsystem.

    Die späteren Konflikte zwischen Raja Silou Bolak und Raja Silou Dunia sowie die Beteiligung anderer Mächte wie des Königreichs Jayu und des Königreichs Gunung-gunung illustrieren die sich ständig verändernde Machtdynamik und die Versuche, inmitten des wachsenden Einflusses von Aceh und möglicherweise des Osmanischen Reiches die Autonomie zu wahren.

    Die Entsendung von Gesandten zu Raja Rambe Nabolak und dem Königreich Jayu, um Raja Silou Bolak zu bekämpfen, zeigt Versuche, lokale Allianzen angesichts ausländischen Einflusses zu schmieden. Letztendlich scheinen die Macht von Raja Asih und Raja Rum (oder der Einfluss, den sie repräsentieren) jedoch dominant gewesen zu sein.

    Die Geschichte über den Kampf um das Gebiet Nagor Laksa und die Niederlage von Raja Silou Dunia bekräftigen die Erzählung über den Machtwechsel weiter. Die Intervention von Raja Silou Bolak, der die Hilfe von Urangkaya Marompat in Batu Bara suchte, zeigt auch einen letzten Versuch, die Dominanz zu widerstehen.

    Obwohl diese Erzählung mündlich überliefert wurde und möglicherweise mythische und legendäre Elemente enthält, bilden die Spuren des Einflusses von Aceh (Raja Asih) und möglicherweise des Osmanischen Reiches (Raja Rum) in der politischen Dynamik Nord-Sumatras in der Vergangenheit ein faszinierendes Thema für weitere Forschung. Die Beziehung zu Dili (Deli) als einer lokalen Entität, die das Zentrum des Konflikts bildete, gibt auch Einblicke in die Komplexität der Interaktion zwischen lokalen und externen Mächten in dieser Region. Archäologische Untersuchungen, die Analyse von Toponymen und der Vergleich mit historischen Aufzeichnungen aus Aceh und dem Osmanischen Reich könnten ein tieferes Verständnis dieser historischen Episode ermöglichen, die in der Geschichte des Partingkian Bandar Hanopan verborgen liegt.

    Jumat, 18 April 2025

    Kilas Balik Sejarah: Ternate, Bukan Portugal, Pemilik Timor Timur


    Sebuah perspektif sejarah yang mungkin mengejutkan mengemuka terkait klaim Indonesia atas Timor Timur. Drs. Moedaffar Sjah BcHk, Sultan Ternate ke-48 yang berkedudukan di Maluku Utara, dengan otoritasnya menyampaikan argumentasi berdasarkan fakta sejarah, bukan sekadar klaim politik semata. Ia menilai bahwa klaim Indonesia atas Timor Timur akan lebih kuat jika didasarkan pada "historisch recht" atau hak historis, yang merujuk pada penguasaan wilayah Timor Timur di masa lampau oleh Kesultanan Ternate.

    Menurut catatan sejarah Kesultanan Ternate yang didirikan oleh Jou Kolano Kaicil Mashur Cico Malamo pada abad ke-13, wilayah kekuasaan kesultanan ini sangat luas, jauh melampaui kepulauan sekitar Maluku. Di utara, kekuasaannya membentang hingga Sulu, Zamboanga, Sabah, bahkan Mindanao di Filipina. Sementara di selatan dan barat, pengaruh Ternate mencapai wilayah Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur.

    Sultan Moedaffar Sjah menegaskan bahwa wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate di masa lalu juga mencakup wilayah Timor Timur saat ini. Hal ini ditandai dengan adanya wali kuasa atau perwakilan Kesultanan Ternate yang ditempatkan di daerah tersebut untuk mengawasi dan mengelola wilayah itu sebagai bagian dari kekuasaan Ternate. Keberadaan wali kuasa ini menjadi bukti konkret akan klaim historis Ternate atas Timor Timur.

    Sejarah mencatat bahwa kekuasaan Portugis di Kepulauan Maluku berakhir pada tahun 1522, ditandai dengan hancurnya Benteng Castella setelah pengepungan yang sengit. Kekalahan ini menyebabkan pasukan Portugis terusir dari wilayah Maluku. Sebagai pihak yang kalah perang, Portugal kemudian secara sepihak menduduki Timor Timur, yang pada saat itu berstatus "wilde occupantie" atau wilayah tak bertuan, bukan sebagai koloni yang sah.


    Sultan Moedaffar Sjah berpendapat bahwa pendudukan Timor Timur oleh Portugal setelah kekalahan mereka di Maluku tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Sebagai pecundang perang, Portugal tidak memiliki hak untuk mengklaim wilayah baru sebagai koloninya, terutama wilayah yang secara historis berada di bawah pengaruh kekuasaan lain, dalam hal ini Kesultanan Ternate.

    Ironisnya, pada saat yang sama, Kesultanan Ternate di bawah kepemimpinan Sultan Bapullah justru mengabaikan Timor Timur dan wilayah-wilayah kekuasaannya yang lain. Perhatian Ternate teralihkan oleh kedatangan kekuatan baru, yaitu pasukan Belanda yang mulai melakukan invasi ke wilayah Ternate pada tahun 1609. Fokus Ternate pada ancaman Belanda ini menyebabkan kurangnya perhatian terhadap wilayah-wilayah kekuasaannya yang lebih jauh, termasuk Timor Timur.

    Sultan Moedaffar Sjah meyakini bahwa mengajukan klaim atas Timor Timur berdasarkan alasan politik akan menimbulkan kerancuan. Namun, jika ditinjau dari sudut pandang "historisch recht," situasinya menjadi jauh lebih jelas. Portugal, sebagai pihak yang kalah dalam perang di Maluku, tidak memiliki legitimasi hukum untuk mengklaim Timor Timur sebagai wilayah koloninya. Klaim historis Kesultanan Ternate atas wilayah tersebut jauh lebih kuat dan berdasar pada fakta penguasaan di masa lampau.

    Argumentasi mengenai "historisch recht" atas Timor Timur ini pernah disampaikan Sultan Ternate Moedaffar Sjah kepada Pemerintah Indonesia. Bahkan, pada tahun 1994, dilakukan wawancara khusus dengan Sultan Ternate yang direkam secara audio-visual dan kabarnya rekaman tersebut telah disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Sultan Ternate menyampaikan pandangannya ini kepada Kompas sesaat sebelum kesepakatan pembentukan Forum Komunikasi dan Informasi Keraton se-Nusantara di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada pertemuan tersebut, para pemangku adat, sultan, atau ahli waris dari 14 keraton peserta Festival Keraton Nusantara I berkumpul untuk membahas berbagai isu terkait pelestarian adat dan sejarah kerajaan di Indonesia.

    Dalam memimpin pertemuan tersebut, Sultan Moedaffar Sjah menunjukkan wawasan yang luas dan kapasitas kepemimpinan yang menonjol di antara para pemangku adat lainnya. Beliau meminta agar para raja dan pemangku adat mengesampingkan perasaan "sakit hati" akibat peran mereka yang dianggap tersisih dan hak-hak yang berkurang sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan menerima hal tersebut sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa.

    Di sisi lain, Sultan Moedaffar Sjah mengingatkan kembali tentang peran penting para sultan dan raja di masa lampau dalam perjuangan melawan penjajahan. Beliau menegaskan bahwa para sultan terdahulu adalah pejuang yang memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda. Pernyataan ini secara implisit menolak anggapan bahwa kerajaan-kerajaan di Nusantara dapat diidentikkan dengan feodalisme dalam artian pelapisan sosial yang menyertai sistem kerajaan.

    Menurut Sultan Moedaffar Sjah, sistem feodal tidak pernah berlaku di Kesultanan Ternate. Konotasi negatif feodalisme di masyarakat luas seringkali mengaburkan peran positif para sultan dan raja dalam perjuangan mempersatukan Indonesia. Beliau berpendapat bahwa para pemimpin kerajaan di masa lalu memiliki kontribusi besar dalam membangun fondasi persatuan bangsa.

    Penampilan Sultan Moedaffar Sjah tidak mencerminkan sosok bangsawan yang arogan. Pria dengan cambang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia ini justru menunjukkan sikap seorang demokrat. Beliau pernah tinggal lama di Jakarta dan menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selama dua periode, dari tahun 1977 hingga 1987.

    Sebagai putra nomor tiga dari Sultan Iskandar Mohammad Djabir Sjah, Moedaffar Sjah ditunjuk menduduki jabatan sebagai Sultan Ternate ke-48 pada tahun 1986. Sebelumnya, Istana Limau Gapi di Ternate mengalami kekosongan kepemimpinan sultan selama 20 tahun. Struktur pemerintahan kesultanan Ternate pun menyerupai pemerintahan modern, dengan adanya jabatan Perdana Menteri, Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan sebagainya yang dijabat oleh orang-orang awam. "Sultan hanya memiliki hak veto," ungkap beliau.

    Wilayah Kesultanan Ternate yang dikelilingi oleh lautan yang luas dan indah memberikan inspirasi sekaligus nilai lebih bagi Sultan Moedaffar Sjah. Dalam suatu seminar di Universitas Pattimura Ambon yang melibatkan pakar hukum kelautan internasional Prof. Mochtar Kusuma Atmadja, Sultan Moedaffar menegaskan bahwa hukum kelautan internasional seharusnya mengacu pada hukum adat setempat yang telah ada jauh sebelumnya.

    Menurut hukum kelautan adat, batas wilayah perairan suatu negara atau pulau tidaklah 200 mil lepas pantai seperti yang disepakati dalam Hukum Laut Internasional. Hukum adat yang telah berusia ratusan tahun di daerah Maluku menentukan bahwa batas wilayah perairan ditandai dengan kedalaman laut dangkal serta laut dalam (sampai batas kedalaman tertentu). Batas itu juga ditandai oleh pulau terdekat yang masih dapat dijangkau oleh pandangan mata.

    Mengacu pada hukum adat laut tersebut, Sultan Moedaffar Sjah berpendapat bahwa perjanjian eksplorasi minyak di Selat Timor antara Indonesia dan Australia tidaklah tepat. Menurut beliau, perjanjian tersebut mengabaikan hak-hak tradisional masyarakat adat atas wilayah perairan mereka berdasarkan hukum adat yang berlaku.

    Istana Limau Gapi Kesultanan Ternate seluas 2 hektar dengan arsitektur gaya Inggris hingga kini masih berdiri megah dan terawat dengan baik. Begitu pula dengan segala perlengkapan adatnya yang masih lengkap. Sultan Moedaffar Sjah tinggal di sana bersama dua istri dan sebagian dari sepuluh putranya yang semuanya telah dewasa.

    Di istana tersebut, Presiden Soekarno pernah menginap hingga dua kali, yaitu pada tahun 1952 dan 1954. "Katanya, mau mencari wangsit," tutur sultan sambil tersenyum. Saat dua kali tidur di ruang tidur sultan, Bung Karno keesokan harinya kedapatan tertidur di lantai. "Entah kenapa sampai terjadi demikian. Tapi ajudannya sempat didamprat, dan baru di kemudian hari diceritakannya kepada saya."

    Presiden Soeharto pun pernah berkunjung ke istana tersebut. Berkat kunjungannya itu, masjid kesultanan yang berada di lingkungan istana memperoleh bantuan untuk direnovasi. Lebih dari sekadar bangunan istana, eksistensi Kesultanan Ternate hingga hari ini mendapatkan dukungan nyata dari rakyat Ternate yang masih terikat oleh adat lama. Sistem sosial "bate" mengekalkan hubungan antara sultan (istana) dengan rakyat di kampung-kampung, menunjukkan bahwa klaim historis dan kultural Ternate atas wilayahnya, termasuk potensi klaim atas Timor Timur berdasarkan "historisch recht," masih hidup dalam ingatan dan tradisi masyarakat.